Rabu, 18 November 2009

SOK TAU

'Sok tahu' pada dasarnya adalah "merasa sudah cukup berpengetahuan" padahal sebenarnya kurang tahu. Masalahnya, orang yang sok tahu biasanya tidak menyadarinya. Lantas, bagaimana kita tahu bahwa kita 'sok tahu'? Mari kita mengambil hikmah dari Al-Qur'an. Ada beberapa ciri 'sok tahu' yang bisa kita dapatkan bila kita menggunakan perspektif surat al-'Alaq.

1. Enggan Membaca

Ketika disuruh malaikat Jibril, "Bacalah!", Rasulullah Saw. menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Lalu malaikat Jibril menyampaikan lima ayat pertama yang memotivasi beliau untuk optimis. Adapun orang yang 'sok tahu' pesimis akan kemampuannya. Sebelum berusaha semaksimal mungkin, ia lebih dulu berdalih, "Ngapain baca-baca teori. Mahamin aja sulitnya minta ampun. Yang penting prakteknya 'kan?" Padahal, Allah pencipta kita itu Maha Pemurah. Ia mengajarkan kepada kita apa saja yang tidak kita ketahui.

Disisi lain, ada pula orang Islam yang terlalu optimis dengan pengetahuannya, sehingga enggan memperdalam. Katanya, misalnya, "Ngapain baca-baca Qur'an lagi. Toh udah khatam 7 kali. Mending buat kegiatan lain aja." Padahal, Al-Qur'an adalah sumber dari segala sumber ilmu, sumber 'cahaya' yang tiada habis-habisnya menerangi kehidupan dunia. Katanya, misalnya lagi, "Ngapain belajar ilmu agama lagi, toh sejak SD hingga tamat kuliah udah diajarin terus." Padahal, 'ilmu agama' adalah ilmu kehidupan dunia-akhirat.

2. Enggan Menulis

Orang yang sok tahu terlalu mengandalkan kemampuannya dalam mengingat-ingat dan menghafal pengetahuan atau ilmu yang diperolehnya. Ia enggan mencatat. "Ngerepotin," katanya. Seolah-olah, otaknya adalah almari baja yang isinya takkan hilang. Padahal, sifat lupa merupakan bagian dari ciri manusia. Orang yang sok tahu enggan mencatat setiap membaca, menyimak khutbah, kuliah, ceramah, dan sebagainya. Padahal, Allah telah mengajarkan penggunaan pena kepada manusia.

Di sisi lain, ada pula orang yang kurang mampu menghafal dan mengingat-ingat pengetahuan yang diperolehnya, tapi ia merasa terlalu bodoh untuk mampu menulis. "Susah," katanya. Padahal, merasa terlalu bodoh itu jangan-jangan pertanda kemalasan. Emang sih, kalo nulis buat orang lain, kita perlu ketrampilan tersendiri. Tapi, bila nulis buat diri sendiri, bukankah kita gak bakal kesulitan nulis 'sesuka hati'? Apa susahnya nulis di buku harian, misalnya, "Tentang ciri sok tahu, lihat al-'Alaq!"?

3. Membanggakan Keluasan Pengetahuan

Orang yang sok tahu membanggakan kepintarannya dengan memamerkan betapa ia banyak membaca, banyak menulis, banyak mendengar, banyak berceramah, dan sebagainya tanpa menyadari bahwa pengetahuan yang ia peroleh itu semuanya berasal dari Allah. Ia mengira, prestasi yang berupa luasnya pengetahuannya ia peroleh berkat kerja kerasnya saja. Padahal, terwujudnya pengetahuan itu pun semuanya atas kehendak-Allah.

Mungkin ia suka meminjam atau membeli buku sebanyak-banyaknya, tetapi membacanya hanya sepintas lalu atau malah hanya memajangnya. Ia merasa punya cukup banyak wawasan tentang banyak hal. Ia tidak merasa terdorong untuk menjadi ahli di bidang tertentu. Kalau ia menjadi muballigh 'tukang fatwa', semua pertanyaan ia jawab sendiri langsung walau di luar keahliannya. Ia mungkin bisa menulis atau berbicara sebanyak-banyaknya di banyak bidang, tetapi kurang memperhitungkan kualitasnya.

4. Merendahkan Orang Lain Yang Tidak Sepaham

Bagi orang Islam yang sok tahu, siapa saja yang bertentangan dengan pendapatnya, segera saja ia menuduh mereka telah melakukan bid'ah, sesat, meremehkan agama, dan sebagainya. Bahkan, misalnya, sampai-sampai ia melarang orang-orang lain melakukan amal yang caranya lain walau mereka punya dalil tersendiri. Ia menjadikan dirinya sebagai "Yang Maha Tahu", terlalu yakin bahwa pasti pandangan dirinyalah satu-satunya yang benar, sedangkan pandangan yang lain pasti salah. Padahal, Allah Swt berfirman: "Janganlah kamu menganggap diri kamu suci; Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan." (an-Najm [53]: 32)

Muslim yang sok tahu cenderung menganggap kesalahan kecil sebagai dosa besar dan menjadikan dosa itu identik dengan kesesatan dan kekafiran! Lalu atas dasar itu dengan gampangnya ia mengeluarkan 'vonis hukuman mati'. Padahal, dalam sebuah hadits shahih dari Usamah bin Zaid dikabarkan, "Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallaah, maka ia telah Islam dan terpelihara jiwa dan hartanya. Andaikan ia mengucapkannya lantaran takut atau hendak berlindung dari tajamnya pedang, maka hak perhitungannya ada pada Allah. Sedang bagi kita cukuplah dengan yang lahiriah."

5. Menutup Telinga dan Membuang Muka Bila Mendengar Pendapat Lain

Orang yang sok tahu tidak memberi peluang untuk berdiskusi dengan orang lain. Kalau toh ia memasuki forum diskusi di suatu situs, misalnya, ia melakukannya bukan untuk mempertimbangkan pendapat yang berbeda dengan pandangan yang selama ini ia anut, melainkan untuk mengumandangkan pendapatnya sendiri. Ia hanya melihat selayang pandang gagasan orang-orang lain, lalu menyerang mereka bila berlainan dengannya. Ia tidak mau tahu bagaimana mereka berhujjah (berargumentasi).

Di samping itu, orang yang sok tahu itu bersikap fanatik pada pendapat golongannya sendiri. Seolah-olah ia berseru, "Adalah hak kami untuk berbicara dan adalah kewajiban kalian untuk mendengarkan. Hak kami menetapkan, kewajiban kalian mengikuti kami. Pendapat kami semuanya benar, pendapat kalian banyak salahnya." Orang yang terlalu fanatik itu tidak mengakui jalan tengah. Ia menyalahgunakan aksioma, "Yang haq adalah haq, yang bathil adalah bathil."

6. Suka Menyatakan Pendapat Tanpa Dasar Yang Kuat

Muslim yang sok tahu gemar menyampaikan pendapatnya dengan mengatasnamakan Islam tanpa memeriksa kuat-lemahnya dasar-dasarnya. Ia suka berkata, "Menurut Islam begini.... Islam sudah jelas melarang begitu...." dan sebagainya, padahal yang ia ucapkan sesungguhnya hanyalah, "Menurut saya begini.... Saya melarang keras engkau begitu...." dan seterusnya. Kalau toh ia berkata, "Menurut saya bla bla bla....", ia hanya mengemukakan opini pribadinya belaka tanpa disertai dalil yang kuat, baik dalil naqli maupun aqli.

7. Suka Berdebat Kusir
Jika pendapatnya dikritik orang lain, orang yang sok tahu itu berusaha keras mempertahankan pandangannya dan balas menyerang balik pengkritiknya. Ia enggan mencari celah-celah kelemahan di dalam pendapatnya sendiri ataupun sisi-sisi kelebihan lawan diskusinya. Sebaliknya, ia tekun mencari-cari kekurangan lawan debatnya dan menonjol-nonjolkan kekuatan pendapatnya. Dengan kata lain, setiap berdiskusi ia bertujuan memenangkan perdebatan, bukan mencari kebenaran.

Demikianlah beberapa ciri orang yang sok tahu menurut surat al-'Alaq dalam pemahamanku. Dengan mengenali ciri-ciri tersebut, semoga kita masing-masing dapat melakukan introspeksi dan memperbaiki diri sehingga kita tidak menjadi orang yang sok tahu. Aamien.

Jumat, 13 November 2009

AHLI SORGA

Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin Ubadah, dia berkata, "Aku sedang berada di masjid. Tiba-tiba datanglah seorang yang di wajahnya ada tanda kekusyukan. Dia shalat dua rakaat secara singkat. Orang-orang berkata, 'Orang ini ahli surga.'

Setelah dia keluar, maka saya mengikutinya sampai di rumahnya, lalu aku ikut masuk kerumahnya. Kami bercakap-cakap, dan setelah akrab aku bertanya, 'Ketika engkau masuk mesjid, orang-orang mengatakan bahwa engkau ahli surga.' Dia menanggapi, 'Mahasuci Allah. Tidak selayaknya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya.'

Saya akan bercerita kepadamu mengapa saya demikian. Sesungguhnya aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman nan hijau. Ibnu Aun berkata: "Orang itu menceritakan kehijauan dan keluasan taman.'Di tengah-tengah taman ada tiang besi. Bagian bawahnya menancap ke bumi dan bagian atasnya menjulang ke langit. Pada bagian tengahnya ada tali. Tiba-tiba dikatakan kepadaku, 'Naiklah!'
Maka aku menjawab, 'Aku tidak bisa.'
Kemudian datanglah pelayan.

Ibnu Aun berkata, "Pelayan itu seorang pemuda. Pelayan menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata, 'Naiklah!' Maka akupun naik hingga berhasil memegang tali.

Dia berkata, 'Peganglah tali itu.' Maka aku terbangun dan tali itu benar-benar ada ditanganku. Kemudian aku menemui Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian itu kepada beliau. Maka beliau bersabda, 'Taman itu melambangkan taman Islam, tiang itu melambangkan tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kokoh. Kamu akan senantiasa memeluk Islam hingga mati.'

Hadist ini dikemukakan dalam shahihain. Orang itu adalah Abdullah bin Salam r.a.

ALLOH TIDAK MEMBEBANI ORANG MELAINKAN SESUAI KESANGGUPANNYA

Alloh tidak membebani orang melainkan sesuaikesanggupanya

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, "Tatkala ayat: `Kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan di bumi. Apabila kamu menampakkan atau menyembunyikan apa yang ada pada dirimu, maka Allah akan memperhitungkan kamu lantaran perbuatan itu. Lalu Dia mengampuni orang yang dikehendaki-Nya dan mengazab orang yang dikehendaki-Nya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu' (al-Baqarah:284) diturunkan kepada Rasulullah saw. maka hal itu sangat menyulitkan para sahabat beliau.

Mereka menemui Rasulullah. Mereka berlutut seraya berkata, `Ya Rasulullah, kami telah dibebani berbagai amal yang dapat kami kerjakan seperti shalat, shaum, jihad dan sedekah. Sekarang ayat itu diturunkan kepada engkau, dan kami tang sanggup mengamalkannya.'

Maka Rasulullah saw bersabda, `Apakah kamu hendak mengatakan apa apa yang telah dikatakan oleh para Ahli Kitab terdahulu, yaitu `kami mendengar namun kami mendurhakainya?' Namun katakanlah olehmu, `Kami mendengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya Tuhan kami. Dan kepada Engkaulah tempat kembali.'

Setelah orang-orang menginsafi ayat itu dan mengucapkan keinsafannya dengan lidah mereka, maka Allah menurunkan ayat yang sesudahnya, yaitu `Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. `Kami tidak membeda-bedakan sedikit pun antara seorang rasul dengan rasul lainnya.'

Dan mereka mengatakan, `Kami dengar dan kami taat. Ya Tuhan kami, ampunilah kami, dan kepada Engkaulah tempat kami kembali.' Setelah mereka mengamalkan ayat itu, maka Allah menasakh ayat tadi dengan ayat, `Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari (kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), `Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau khilaf.'"

Sesungguhnya Cinta Itu (Tidak) Kontroversial

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya. Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair. "Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut, mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24).
Subhanallah!

***

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud. Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi, qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya, hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang sempurna.

Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu seperti kasus sahabat saya tadi.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah.

Wallahua’lam bish-showab.

Selasa, 10 November 2009

catatan kecil

suatu sa'at akan ada suatu golongan yg akan mengklaim kberhasilan/kemajuan (syariah)islam, bhwa dgn ajaran dialah islam bisa seprti ini,bahkan golongan2 slain mereka juga akn mengklaim kbrhasilan islam, mereka tdk akn sadar bhwa alloh lah yg menakdirkan smua itu. Di stiap tahun akan ada ajaran2 yg baru2, dan smua ajarn yg bru2 itu batil(tidak diterima) kalo ajaran baru itu membuat ummat dgn ummat yg sama(islam) mereka saling cekcok, bodohnya lagi mereka saling membicarakan/ mengadu2 ilmu2nya alloh kesana kemari,akan tetapi mereka-mereka tak satupun melakukanya perintah2 alloh, . ( sprti contoh kecil sj mereka tdk bisa menjaga dosa2 yg di sbbkan oleh
mulud,mata,tangan, kaki & laen-laen, yg paling sy tak suka mereka masih makan2 dari duit...
... RIBA, sdangkan di zman rosululloh,ia slalu brhati2 dlm mslah riba,
malu dong kalo kita ummatnya penegak syariah MASIH SLALU,MENGGUNAKAN,HARTA RIBA
(solusinya... Kepada alloh lah mari kita kmbali kepadanya) .
*MEMPERBAIKI ITU LEBIH BAIK DARI PADA MEMBUAT LAGI.* klo kita membaca tulisan di atas hati kita kok merasa/ menjadi sakit/panas/tersinggung udah pastinya kita mendapat rahmat dari ALLOH, amin. bersambung...